Biografi Syeikh Abdush Shamad Al-Falimbani


Asal-Usul Syeikh Abdush Shamad Al-Falimbani
Catatan lengkap mengenai tokoh sufi Asia Tenggara yang bermazhab Syafi’i ini baru diperoleh dalam buku karangan Muhammad Hassan bin Kerani Muhammad Arshad yang berjudul “At-Tarikh Salasiah Negeri Kedah” yang diterbitkan tahun 1968 oleh Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur.

Tentang asal-usul dan tahun wafatnya terdapat perbedaan pendapat. Dalam beberapa tulisan disebutkan tahun wafatnya adalah 1203 H. yaitu pada penghujung penulisan kitab “Siyar As-Salikin” juz keempat.  Tetapi para penganut tasawuf di Asia Tenggara, terutama pengikut Terekat Sammaniyyah, mempercayai bahwa Syeikh Abdush Samad Al-Falimbani menghilang dalam khalwat di Masjid Legor pada saat perang antara Kedah dan Siam di tahun 1244 H (1831 M).

Biografi Syeikh Abdush Shamad Al-Falimbani
Syeikh Abdush Shamad Al-Falimbani.
Kesimpang-siuran tentang tahun wafatnya sedikit terjawab dengan adanya sebuah karya tulis dengan huruf Arab Melayu yang ditulis dan disimpan oleh seorang pegawai kerajaan Kedah bernama Muhammad Hassan bin Kerani Muhammad Arshad. Buku bertuliskan arab melayu tentang Kerajaan Kedah yang ditulis pada tahun 1927 dan diterbitkan kembali oleh Kementerian Pelajaran Malaysia dan Dewan Bahasa, Kuala Lumpur tahun 1968 dengan huruf Latin, menceritakan asal usul dan Hubungan Syeikh Abdush Shamad Al-Falimbani dengan Kedah.[1]

Nama lengkapnya Abdush Shamad bin Abdillah AL-Jawi Al-Falimbani. Ini versi Melayu. Sumber-sumber arab menyebutnya Sayid Abdush Shamad bin Abdirrahman Al-Jawi. Menurut Tarikh Salasiah Negri Keddah,  ia dilahirkan sekitar 1704 di Palembang. Ayahnya sorang sayid asal San’a, Yaman, yang sering pergi ke Gujarat dan Jawa sebelum menetap di Keddah dan diangkat menjadi kadi kesultanan. Pada 1700-an ia ia ke Palembang dan mengawini seorang perempuan setempat. Dari ibu asli Palembang inilah lahir Al-Falimbani, yang masa orok di boyong ke Keddah.[2]

Menurut buku Manakib Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari nama lengkap Syeikh Abdush Samad Al-Falimbani adalah Syekh Abdush Shamad Bin Syekh Abdul Jalil Bin Abdul Wahab Bin Syekh Ahmad Al-Mahdi Al-Yamani. Ayahnnya adalah seorang perantau dari Yaman yang akhirnya tiba di Palembang. Ia juga banyak mengarang kitab yang berhubungan dengan ilmu tauhid, tasawuf, fikih, dan bidang ilmu lainnya, antara lain: Siyar As-Salikin Dan Hidayat As-Salikin dan yang lainnya yang salah satu kitab tentang jihad dijalan Allah SWT. yang ditulisnya dalam bahasa arab.[3]

Pendidikan Syeikh Abdush Shamad Al-Falimbani
Pendidikan awalnya diperolehnya di Keddah dan Patani, Muangthai. Lalu, sang ayah mengirimkannya ke Arabia, entah di usia berapa. Yang jelas ia menetap disana sampai wafatnya. Diperkirakan setelah 1789, tahun ketika ia menyelesaikan karya terakhirnya siyar As salikin. Meski tak pernah pulang, Abdush Shamad tetap mengikuti perkembangan di Nusantara lewat keterlibatannya dalam komunitas Jawi.[4]

Ayahnya beliau, Syekh Abdul Jalil tidak lama tinggal di Palembang dan ia kembali ke Negeri Keddah, sebab beliau masih menjabar mufti disana dan meneruskan dakwahnya. Putera tunggalnya yang bernama Abdush Samad beliau bawa pula ke Negeri Keddah. Di Keddah Syekh Abdul Jalil mendidik sendiri semua puteranya. Mereka di didik atas dasar-dasar Ilmu Keislaman menurut metode pada saat itu. Kemudian Syekh Abdul Jalil mengirim semua anaknya untuk belajar ke Pondok di Negeri Pattani, karena pada masa itu negeri Pattani adalah tempat mengkaji ilmu-ilmu keislaman sistem pondok yang mendalam.

Sistem yang diterapkan pada masa itu adalah sistem hafalan, yang dimulai dengan menghafal dasar-dasar ilmu Bahasa Arab, yaitu nahwu dan sharaf, kemudian dilanjutkan dengan ilmu Bahasa Arab lainnya yang lebih dikenal dengan Ilmu Alat Dua Belas. Kemudian dilanjutkan lagi dengan menghafal ilmu dasar-dasar ilmu syariat dalam mazhab Imam Syafi’i, dibidang ilmu tauhid dengan menghafal dasar-dasar ilmu tauhid berdasarkan mazhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang bersumber dari Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari. sangatlah disayangkan tidak terdapat nama-nama guru Abdush Samad selama beliau belajar menuntut ilmu di daerah Pattani.

Lebih kurang tiga puluh tahun Abdush Samad dengan kawan-kawannya belajar di Makkah. Di Makkah Abdush Samad belajar berbagai ilmu agama bersama kawan-kawannya yang terkenal antara lain adalah: Muhammad Arsyad Bin Abdullah Al-Banjari, Abdul Wahab Pangkajene (Sindereng Daeng Bunga) Bugis, Abdurrahman Al-Masri dan Daud Bin Abdullah Al-Fathani.[5]

[1] KH. Waini Hambali, Manakib Syeikh Abdush Shamad AL-Falimbani, (Kandangan: Sahabat, 2003) Hal. 4-5
[2] A. Suryana Sudrajat, Ulama Pejuang dan Ulama Petualang: Belajar Kearifan Dari Negeri Atas Angin, (Jakarta: Erlangga, 2006), Hal. 66
[3] Tim Sahabat, Manakib Muhammad Nafis Al-Banjari, (Kandangan: Sahabat, 2006) Hal. 14
[4] A. Suryana Sudrajat, Ulama Pejuang dan Ulama Petualang: Belajar Kearifan Dari Negeri Atas Angin, (Jakarta: Erlangga, 2006), Hal. 66
[5] KH. Waini Hambali, Manakib Syeikh Abdush Shamad AL-Falimbani, (Kandangan: Sahabat, 2003) Hal. 11-12

Responses (3)

Leave a Reply

Your email address will not be published.